Sadako Sasaki
lahir 7 Januari 1943; hidupnya yang singkat berakhir pada 25 Oktober
1955. Ketika ia berusia dua tahun, sebuah bom atom dijatuhkan oleh
Amerika Serikat di Hiroshima, Jepang. Sadako tinggal dekat Misasa Bridge
di Hiroshima tempat bom dijatuhkan pada tanggal 6 Agustus 1945. Saat
itu dia tak tahu bahwa dirinya telah menjadi korban radiasi pasca
pemboman.
Sadako adalah
seorang anak yang cerdas, ceria, sangat energik, mungkin istilah yang
tepat adalah “pecicilan”, hingga orang tuanya selalu mengingatkan agar
ia duduk manis barang sejenak. Sadako sangat suka berlari-larian. Ia
sangat menikmati menjadi bagian dari “tim lari estafet” di sekolahnya.
Hingga dia tak memberitahu siapapun bahwa dia mulai merasakan pusing
saat berlari. Satu saat, ia terjatuh di depan para guru, hingga
dipanggillah orang tuanya datang ke sekolah. Tanggal 21 Februari 1955,
Sadako mulai masuk rumah sakit. Sadako didiagnosa terjangkit leukemia
sebagai dampak bom atom. Ibunya menyebut sebagai “penyakit bom atom” (an
atomic bomb disease).
Pada bulan
November 1954, tumbuh cacar pada leher dan bagian belakang telinganya.
Pada bulan Januari 1955, mulai timbul titik berwarna ungu pada kakinya.
Pada tanggal 21 Februari 1955, Sadako harus dirawat di rumah sakit
karena dokter mendiagnosa Sadako mengidap Leukemia dan divonis hanya
dapat hidup paling lama satu tahun.
Pada tanggal 3
Agustus 1955, seorang sahabat karib Sadako yang bernama Chizuko Hamamoto
datang menjenguk Sadako di rumah sakit dengan membawa kertas emas untuk
membuat bangau kertas, karena berdasarkan kisah klasik Jepang, jika
seseorang membuat seribu bangau kertas, maka permintaannya akan
dikabulkan. Cerita yang berkembang menyebutkan bahwa Sadako hanya mampu
menyelesaikan 644 bangau kertas sebelum kematiannya, dan sahabatnya
meneruskan hingga 1.000 dan menguburkan semua bersama jasad Sadako.
Cerita lain dari Hiroshima Peace Memorial Museum menyatakan bahwa pada
akhir Agustus 1955, Sadako teleah menyelesaikan 1.000 bangau kertas dan
meneruskan untuk membuat lebih banyak lagi.
Sejak saat itu
Sadako mulai membuat paper crane untuk meminta kesembuhan bagi dirinya.
Untaian bangau kertas digantung di atas tempat tidurnya dengan seutas
benang. Meskipun Sadako punya banyak waktu di rumah sakit untuk melipat
bangau, ia kehabisan kertas. Dia pun menggunakan medicine wrappings dan
apa saja yang bisa ia pungut. Ia berkunjung ke kamar pasien lain untuk
meminta kertas bekas bungkus bingkisan pengunjung yang datang
mengunjungi pasien. Chizuko juga membawakan kertas untuknya. Sadako
berkeinginan melipat 1000 bangau, tetapi sayang, ia hanya sanggup
melipat 644 sebelum ajal menjemputnya.
Kondisi Sadako
memburuk secara drastis, membuat kedua orang tua dan saudara-saudaranya
sedih melihatnya sekarat. Ibunya membuatkan sebuah kimono bercorak bunga
sakura supaya dapat dipakainya sebelum ia meninggal. Saat itu Sadako
merasa kondisinya membaik sehingga ia dibolehkan pulang selama beberapa
hari. Sadako berteman dengan seorang anak laki-laki bernama Kenji,
seorang anak yatim, yang juga menderita leukemia tetapi sudah dalam
stadium lanjut. Kenji sudah terkena dampak radiasi sejak ia dalam
kandungan ibunya. Sadako mencoba memberi Kenji harapan dengan kisah
bangau emas (The golden crane story), tetapi Kenji sadar akan kenyataan
bahwa waktunya sudah dekat. Ibunya sudah lebih dulu meninggal, dan ia
sudah belajar bagaimana cara membaca diagram darahnya (blood charts) dan
sudah tahu bahwa ia sudah dalam kondisi sekarat. Saat di rumah Saat di
rumah sakit, Sadako menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri kematian
Kenji, dan dia sangat terpukul. Sadako tahu bahwa gilirannya pun akan
segera tiba.
Setelah
keluarganya memaksanya untuk makan sesuatu, Sadako meminta teh hijau dan
berkomentar “It’s good.” Kalimat itu adalah kalimat terakhirnya.
Dikelilingi oleh keluarganya, Sadako meninggal dunia pada tanggal 25
Oktober 1955 pada usia 12 tahun. Teman-temannya menyelesaikan pembuatan
bangau kertas sisanya hingga genap terkumpul 1000 bangau dan
menguburkannya bersama jasad Sadako.
Sepeninggal
Sadako, teman-temannya menerbitkan suatu koleksi surat-surat untuk
menggalang dana yang akan digunakan untuk membangun sebuah monumen
peringatan bagi Sadako dan semua anak yang meninggal akibat efek bom
atom. Pada tahun 1958 sebuah patung Sadako memegang bangau emas berdiri
di Hiroshima Peace Memorial Park, bangsa Jepang menyebutnya dengan nama
Genbaku Dome. Di kaki patung terdapat sebuah prasasti bertuliskan:
“This is our cry. This is our prayer. Peace on Earth.”
(“Inilah jeritan kami. Inilah Doa kami. Damai lah di bumi”).
Di Seattle
Peace Park juga terdapat patung Sadako. Sadako telah menjadi simbol
dampak perang nuklir, mengingatkan betapa berbahayanya perang nuklir.
Sadako juga menjadi pahlawan untuk gadis-gadis di Jepang. Kisah hidupnya
diceritakan di sekolah-sekolah Jepang saat memperingati pemboman
Hiroshima. Sebagai dedikasi untuknya, penduduk Jepang merayakan 6
Agustus sebagai National Peace Day.
Kisah Sadako
menjadi terkenal pula di kalangan murid sekolah di luar Jepang karena
ditulis menjadi sebuah novel. The Day of the Bomb ditulis seorang
penulis berkebangsaan Austria Karl Bruckner. Sadako and the Thousand
Paper Cranes pertama kali diterbitkan pada tahun 1977 ditulis oleh
Eleanor Coerr. Robert Jungk juga menulis Children of the Ashes, di
dalamnya ditulis pula kisah Sadako. Setiap tahun, ribuan paper crane
dikirim oleh anak-anak dan orang dewasa dari seluruh penjuru dunia ke
Hiroshima Peace Memorial Park. Burung bangau merupakan simbol harapan
untuk masa depan yang lebih baik yaitu perdamaian tanpa penderitaan.
Kisah Sadako
dapat menjadi pengingat bagi kita apa yang terjadi akibat perang
terlebih jika suatu negara memilih untuk menggunakan senjata nuklir.
Burung bangau
di Jepang merupakan salah satu mahluk mistis atau suci (selain naga dan
kura-kura) yang dipercaya dapat hidup ribuan tahun. Thousand Origami
Cranes (千羽鶴, Senbazuru) yaitu sebuah untaian seribu origami bangau
kertas yang disatukan dengan benang. Ada sebuah legenda kuno Jepang yang
konon menjanjikan bahwa siapapun yang dapat melipat seribu bangau
origami akan dihadiahi “WISH” oleh sang bangau, seperti umur panjang,
sembuh dari sakit.
Maka Senbazuru
menjadi wedding gift yang populer untuk keluarga dan teman spesial. Si
pemberi berharap pengantin mendapat seribu tahun kebahagiaan dan
kesejahteraan. Dapat juga sebagai kado untuk bayi yang baru lahir agar
berumur panjang dan mendapat keberuntungan. Menggantung Senbazuru di
rumah dianggap membawa keberuntungan. Ada pula yang menggunakan sebagai
matchmaking charm untuk gadis-gadis Jepang saat berusia 16 tahun. Sang
gadis akan membuat 1000 bangau untuk diberikan kepada sang jaka yang
dikaguminya.
0 komentar:
Posting Komentar